Kemarin cell group saya, ACT, pergi outing alias jalan-jalan ke Makan Sutra, di daerah Esplanade.
Oiya, sebelumnya kenalan dulu ya sama anggota ACT, nggak afdol kalau nggak kenalan *bilang aja mau nampang :p*
Eng ing eng… perkenalkan:
Left to right: Daniel, saya (yang rambutnya lagi nggak banget -_-), Jovi (she’s my roommate), and our leader, Andy. Sebenernya masih ada anggota-anggota lain, which are Epi, Lusi, dan Didi, tapi kemarin yang bisa pergi cuma empat oknum ini, ya sutralah.
Anyway, ide untuk posting ini saya ambil dari obrolan kami saat makan kemarin. Pertamanya sih kita ketawa-ketiwi bahas segala macam (trust me, kalau empat orang ini udah ngumpul, bahasannya bisa sangat absurd dan dalam lingkup topik yang tak bisa diperkirakan, so… beware! Hehehe nggak deng, bercanda :p), terus ujung-ujungnya kok obrolan jadi serius. Kami bahas tentang… pernikahan yang nggak seiman.
Nah, sebelum saya lanjut lagi, saya mau share satu postingan yang bagus bangettt tentang hal ini, dulu saya baca di blognya Ci Lia, bisa ditengok di sini ya.
Okay, kita lanjut lagi.
Kemarin sih intinya saya mengemukakan opini saya, tentang a BIG no untuk menikah dengan yang tidak seiman. Jangankan menikah, pacaran aja jangan! Dan “seiman” di sini bukan sekedar orang yang mencantumkan “Kristen” sebagai agama di KTP-nya lho ya, tapi bener-bener orang Kristen yang mencintai dan takut akan Tuhan dengan segenap hatinya, yang pastinya diwujudkan dalam kehidupan dia sehari-hari.
Setelah saya mengungkapkan opini, Daniel bilang, “Tapi kita nggak boleh nge-judge orang lain lho. Buktinya aja ada tuh siapa… si Lidya Kandou, dia kan juga nikah sama yang nggak seiman, tapi langgeng tuh sampai sekarang.”
Saya bilang, “Lho, nggak ada yang nge-judge kok. Ini masalah prinsip. Firman Tuhan udah jelas-jelas bilang: jangan menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.”
Ini masalah prinsip yang akan kamu terapkan dalam KEHIDUPANMU SENDIRI.
Terus, gimana dengan yang dibilang Daniel, “Lidya Kandou yang menikah dengan yang nggak seiman aja bisa langgeng dan bahagia”?
Well, kita kan nggak tahu pernikahannya seperti apa, kan? Yang tampak di mata orang lain kan cuma luarnya aja. Dalamnya bagaimana, ya siapa yang tahu? Tapi saya yakin, ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR untuk pernikahan tak seiman. Pernikahan orang yang seiman aja, banyak halangan dan rintangan yang harus dihadapi, lha gimana dengan yang nggak?
Sekarang gini, bagi orang Kristen, Tuhan Yesus adalah kepala rumah tangga. He’s the head of the family. Gimana bisa tetap menjadikan Dia kepala, jika hanya satu orang dari suami atau isteri yang percaya pada-Nya, sementara yang satunya enggak? Bagaimana rumah tangga bisa berdiri kokoh, jika dua orang yang menjalaninya, berdiri pada dua fondasi yang berbeda?
Orang yang ngeyel bakal bilang “bisa aja”! Tapi pasti akan sangaaaat sulit, dan banyak hal harus dikorbankan. Apakah pernikahan semacam itu akan sehat?
Saya nulis begini karena saya sudah melihat sendiri, apa yang dialami oleh salah seorang tante saya, yang menjalani pernikahan tidak seiman. Memang, pernikahan mereka (dari kacamata saya) baik-baik saja, dan puji Tuhan oom saya pun orangnya sangat baik, tapi bahkan SAYA aja, suka miris jika melihat tante saya datang sendiri ke gereja.
Berani taruhan berapa pun, meski dia nggak pernah mengatakannya, saya yakin tante saya punya kerinduan untuk bisa beribadah bersama dengan suaminya di gereja. Tapi, saya yakin tante saya juga tahu, bahwa ini adalah harga yang harus dibayar untuk pilihan yang telah diambilnya.
Di hari lamarannya, saya ingat betul tante saya bilang pada saya, “Jangan kayak Tante ya…”
Yang dia maksud tentu adalah memiliki pasangan yang tidak seiman. Saya nyaris nangis waktu mendengarnya, dan memori itu tak pernah terhapus dari ingatan saya.
Melalui posting ini, saya rindu anak-anak Tuhan di luar sana matanya terbuka, bahwa KALAU SUDAH TAHU bahwa pernikahan dengan yang tidak seiman itu bakal sangat sulit, YA JANGAN DICOBA! Bahkan untuk pacaran pun jangan, karena pacaran (yang bener) tujuannya pasti ke pernikahan, kan?
Tuhan melarang kita menikah dengan yang tidak seiman bukan tanpa alasan. Dia sudah memperhitungkan semuanya. Dia tahu masalah yang akan dihadapi anak-anak-Nya jika berjalan bersama orang yang tidak mengasihi-Nya. Alkitab nggak kurang banyak ngasih contoh kok, tengok saja Raja Salomo dan Simson.
Tuhan memberikan peraturan-Nya bukan untuk mengekang kita, tapi justru untuk membuat hidup kita jadi teratur dan bahagia :)
Oya, adik saya pernah cerita ke saya tentang suatu diskusi yang berakhir kurang memuaskan dengan temannya. Temannya itu bilang, “Kalau aku nikah dengan yang nggak seiman, itu kan kehendak Tuhan untuk membuat pasanganku jadi orang percaya juga.”
Pertanyaan pertama saya: iya kalau pasangannya jadi orang percaya, kalau enggak??? Masa mau dicerai??? *sewot :p*
Pertanyaan kedua saya: gimana kamu membedakan bahwa sesuatu itu merupakan kehendak Tuhan atau bukan? Apa patokanmu?
Adik saya nggak bisa jawab, dan saya bilang padanya, “Patokannya adalah Firman Tuhan. Alkitab. Kalau di Alkitab udah bilang NGGAK BOLEH, it does mean it.”
Kita harus bisa membedakan antara hal-hal yang merupakan kehendak Tuhan, dengan hal-hal yang diizinkan Tuhan terjadi.
Pernikahan-pernikahan tak seiman, dalam pandangan saya, adalah hal yang diizinkan Tuhan terjadi. Untuk apa?
• Satu, jika dengan kasih anugerah Tuhan, pasangan yang tak percaya bisa menjadi percaya. Puji Tuhan sekali jika itu yang terjadi. Sayang sekali, pada kenyataannya tidak semua berakhir seindah itu.
• Kedua, untuk menjadi contoh bagi orang lain yang mungkin ingin nekat juga mengambil pilihan itu, supaya mereka bisa melihat betapa besar harga yang harus dibayar untuk pilihan tersebut.
• Ketiga, untuk menjadi pelajaran bagi pasangan yang menjalani itu sendiri. Berani menabur, berani menuai. Berani ambil pilihan, berani terima resiko.
Ya sutralah, segini dulu yaaa. Untuk terakhir kalinya saya tulis lagi, bahwa kita nggak boleh menghakimi siapa pun, karena kita nggak tahu seberapa berat dan sulitnya perjuangan yang dilalui oleh pasangan-pasangan nggak seiman ini, kan? Kita nggak ada di posisi mereka ;) Saya cuma ingin memberi gambaran singkat saja pada anak-anak Tuhan di luar sana, tentang resiko yang harus siap kamu tanggung jika memilih pasangan yang tak seiman.
Well, it’s your choice, then :)
Oiya, sebelumnya kenalan dulu ya sama anggota ACT, nggak afdol kalau nggak kenalan *bilang aja mau nampang :p*
Eng ing eng… perkenalkan:
Left to right: Daniel, saya (yang rambutnya lagi nggak banget -_-), Jovi (she’s my roommate), and our leader, Andy. Sebenernya masih ada anggota-anggota lain, which are Epi, Lusi, dan Didi, tapi kemarin yang bisa pergi cuma empat oknum ini, ya sutralah.
Anyway, ide untuk posting ini saya ambil dari obrolan kami saat makan kemarin. Pertamanya sih kita ketawa-ketiwi bahas segala macam (trust me, kalau empat orang ini udah ngumpul, bahasannya bisa sangat absurd dan dalam lingkup topik yang tak bisa diperkirakan, so… beware! Hehehe nggak deng, bercanda :p), terus ujung-ujungnya kok obrolan jadi serius. Kami bahas tentang… pernikahan yang nggak seiman.
Nah, sebelum saya lanjut lagi, saya mau share satu postingan yang bagus bangettt tentang hal ini, dulu saya baca di blognya Ci Lia, bisa ditengok di sini ya.
Okay, kita lanjut lagi.
Kemarin sih intinya saya mengemukakan opini saya, tentang a BIG no untuk menikah dengan yang tidak seiman. Jangankan menikah, pacaran aja jangan! Dan “seiman” di sini bukan sekedar orang yang mencantumkan “Kristen” sebagai agama di KTP-nya lho ya, tapi bener-bener orang Kristen yang mencintai dan takut akan Tuhan dengan segenap hatinya, yang pastinya diwujudkan dalam kehidupan dia sehari-hari.
Setelah saya mengungkapkan opini, Daniel bilang, “Tapi kita nggak boleh nge-judge orang lain lho. Buktinya aja ada tuh siapa… si Lidya Kandou, dia kan juga nikah sama yang nggak seiman, tapi langgeng tuh sampai sekarang.”
Saya bilang, “Lho, nggak ada yang nge-judge kok. Ini masalah prinsip. Firman Tuhan udah jelas-jelas bilang: jangan menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.”
Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? (2 Korintus 6 : 14)
Ini masalah prinsip yang akan kamu terapkan dalam KEHIDUPANMU SENDIRI.
Terus, gimana dengan yang dibilang Daniel, “Lidya Kandou yang menikah dengan yang nggak seiman aja bisa langgeng dan bahagia”?
Well, kita kan nggak tahu pernikahannya seperti apa, kan? Yang tampak di mata orang lain kan cuma luarnya aja. Dalamnya bagaimana, ya siapa yang tahu? Tapi saya yakin, ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR untuk pernikahan tak seiman. Pernikahan orang yang seiman aja, banyak halangan dan rintangan yang harus dihadapi, lha gimana dengan yang nggak?
Sekarang gini, bagi orang Kristen, Tuhan Yesus adalah kepala rumah tangga. He’s the head of the family. Gimana bisa tetap menjadikan Dia kepala, jika hanya satu orang dari suami atau isteri yang percaya pada-Nya, sementara yang satunya enggak? Bagaimana rumah tangga bisa berdiri kokoh, jika dua orang yang menjalaninya, berdiri pada dua fondasi yang berbeda?
Orang yang ngeyel bakal bilang “bisa aja”! Tapi pasti akan sangaaaat sulit, dan banyak hal harus dikorbankan. Apakah pernikahan semacam itu akan sehat?
Saya nulis begini karena saya sudah melihat sendiri, apa yang dialami oleh salah seorang tante saya, yang menjalani pernikahan tidak seiman. Memang, pernikahan mereka (dari kacamata saya) baik-baik saja, dan puji Tuhan oom saya pun orangnya sangat baik, tapi bahkan SAYA aja, suka miris jika melihat tante saya datang sendiri ke gereja.
Berani taruhan berapa pun, meski dia nggak pernah mengatakannya, saya yakin tante saya punya kerinduan untuk bisa beribadah bersama dengan suaminya di gereja. Tapi, saya yakin tante saya juga tahu, bahwa ini adalah harga yang harus dibayar untuk pilihan yang telah diambilnya.
Di hari lamarannya, saya ingat betul tante saya bilang pada saya, “Jangan kayak Tante ya…”
Yang dia maksud tentu adalah memiliki pasangan yang tidak seiman. Saya nyaris nangis waktu mendengarnya, dan memori itu tak pernah terhapus dari ingatan saya.
Melalui posting ini, saya rindu anak-anak Tuhan di luar sana matanya terbuka, bahwa KALAU SUDAH TAHU bahwa pernikahan dengan yang tidak seiman itu bakal sangat sulit, YA JANGAN DICOBA! Bahkan untuk pacaran pun jangan, karena pacaran (yang bener) tujuannya pasti ke pernikahan, kan?
Tuhan melarang kita menikah dengan yang tidak seiman bukan tanpa alasan. Dia sudah memperhitungkan semuanya. Dia tahu masalah yang akan dihadapi anak-anak-Nya jika berjalan bersama orang yang tidak mengasihi-Nya. Alkitab nggak kurang banyak ngasih contoh kok, tengok saja Raja Salomo dan Simson.
Tuhan memberikan peraturan-Nya bukan untuk mengekang kita, tapi justru untuk membuat hidup kita jadi teratur dan bahagia :)
Oya, adik saya pernah cerita ke saya tentang suatu diskusi yang berakhir kurang memuaskan dengan temannya. Temannya itu bilang, “Kalau aku nikah dengan yang nggak seiman, itu kan kehendak Tuhan untuk membuat pasanganku jadi orang percaya juga.”
Pertanyaan pertama saya: iya kalau pasangannya jadi orang percaya, kalau enggak??? Masa mau dicerai??? *sewot :p*
Pertanyaan kedua saya: gimana kamu membedakan bahwa sesuatu itu merupakan kehendak Tuhan atau bukan? Apa patokanmu?
Adik saya nggak bisa jawab, dan saya bilang padanya, “Patokannya adalah Firman Tuhan. Alkitab. Kalau di Alkitab udah bilang NGGAK BOLEH, it does mean it.”
Kita harus bisa membedakan antara hal-hal yang merupakan kehendak Tuhan, dengan hal-hal yang diizinkan Tuhan terjadi.
Pernikahan-pernikahan tak seiman, dalam pandangan saya, adalah hal yang diizinkan Tuhan terjadi. Untuk apa?
• Satu, jika dengan kasih anugerah Tuhan, pasangan yang tak percaya bisa menjadi percaya. Puji Tuhan sekali jika itu yang terjadi. Sayang sekali, pada kenyataannya tidak semua berakhir seindah itu.
• Kedua, untuk menjadi contoh bagi orang lain yang mungkin ingin nekat juga mengambil pilihan itu, supaya mereka bisa melihat betapa besar harga yang harus dibayar untuk pilihan tersebut.
• Ketiga, untuk menjadi pelajaran bagi pasangan yang menjalani itu sendiri. Berani menabur, berani menuai. Berani ambil pilihan, berani terima resiko.
Ya sutralah, segini dulu yaaa. Untuk terakhir kalinya saya tulis lagi, bahwa kita nggak boleh menghakimi siapa pun, karena kita nggak tahu seberapa berat dan sulitnya perjuangan yang dilalui oleh pasangan-pasangan nggak seiman ini, kan? Kita nggak ada di posisi mereka ;) Saya cuma ingin memberi gambaran singkat saja pada anak-anak Tuhan di luar sana, tentang resiko yang harus siap kamu tanggung jika memilih pasangan yang tak seiman.
Well, it’s your choice, then :)
Comments
Gimana bisa berjalan lurus ya, kalau sauh dan jangkarnya, serta nakhodanya ada 2
Let Him be the Master and the Father and the Guidance for our family, amien