Dua minggu lalu, saya pelayanan perdana di Praise & Worship Team di gereja saya di sini, jadi… singer. Wekekek.
Saya suka nyanyi, tapi sejauh ini keberanian tampil saya dibatasi oleh dinding-dinding kamar mandi, fufufu. But then, I found out that this is another area where I can serve my God, so I challenged myself to join the new PW training class few weeks ago.
PW training ternyata seru sekali! Saya belajar teknik-teknik dasar menyanyi, mulai pernafasan, artikulasi, etc. Tapi tentu lebih excited untuk belajar bagaimana mencegah kebaktian di mana kamu melayani berubah menjadi “konser musik”. Karena kalau suatu kebaktian di mana PW teamnya berfokus pada diri sendiri, dan bukannya Tuhan, tentulah kebaktian itu hanya akan jadi sebuah konser musik, di mana jemaat yang hadir hanya menikmati musik dan nyanyian, padahal tujuan praise and worship saat kebaktian adalah untuk memuji dan menyembah Tuhan, sekaligus mempersiapkan hati jemaat untuk menerima Firman Tuhan. Apa jadinya suatu hal jika dari tujuan utamanya saja sudah melenceng? Yup, kacau.
Di luar itu, ada tiga hal besar yang saya dapat selama ikut PW training ini:
1. Step out from the comfort zone
courtesy of: http://shamarionfillyawwhitaker.blogspot.com/2011/10/getting-out-of-your-comfort-zone.html |
Memberanikan diri ikut PW training class ini aja, saya sudah merasa keluar dari zona nyaman saya. I mean, why would I want to spend each of my Monday night at church? Senin itu hari yang paling melelahkan buat saya. Sudah ada dua mata kuliah di dua kampus yang berbeda, dari jam sembilan pagi sampai tujuh malam, pula. Bukannya lebih enak kelar itu pulang, lalu online atau santai-santai kek di rumah? Tapi Yesus nggak mati buat saya supaya saya bisa ongkang-ongkang kaki dan bersantai menikmati hidup. Dia mati bagi saya untuk menyelamatkan saya, dan adalah KEWAJIBAN bagi saya untuk bisa membagikan hal itu pada orang lain, untuk bisa membawa orang lain mendekat pada-Nya. So, if this is one of the ways to bring people closer to my God, count me in!
2. Intimacy with God
Hal lagi yang terasa sangat “menampar” ini saya dapat pas kelas pertama. Ci Yenny, istri pendeta saya di sini, sekaligus worship leader dan mentor PW training class, bilang, “Kamu harus punya hubungan pribadi yang dekat dengan Tuhan, karena PW itu kita ‘memberi’ sesuatu untuk jemaat. Ibaratnya sumur, kamu nggak akan bisa memberi air kalau sumur kamu kering, kan?”
So true. Even Jesus said,
Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. (Yohanes 15 : 4)
Bagaimana mau orang melihat buah kita, kalau kita sendiri nggak berbuah? Bagaimana kita mau berbuah, kalau kita, sebagai ranting, terlepas dari pohonnya? That’s impossible. Jadi, punya hubungan pribadi yang dekat dengan Tuhan itu wajib hukumnya :)
3. Humility and submit to authority
Setelah sekitar enam kali ikut kelas, saya pun “diterjunkan”. FYI, gereja saya di sini, Oikos, coraknya kharismatik. Kinda challenging for me during my early days here (because I have been attending GKI in Indonesia), but I believe that God's presence is not limited by church denomination (He abides in great and strong wind, earthquake, and fire, but He abides in a gentle whisper as well), so I just went ahead.
Nah, kalau di gereja-gereja kharismatik kita pasti pakai worship leader (WL) dong ya saat kebaktian? Begitu pun di Oikos. Dan saya yang dulunya bukan PW pun tahu, bahwa singer tidak boleh “melebihi” WL. Sama seperti backing vocal yang nggak boleh “melebihi” penyanyi utama. Tugas backing vocal adalah mendukung sang penyanyi utama, bukan melebihinya. Backing vocal harus bisa menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya atau suaranya, hingga membuat perhatian penonton teralih dari penyanyi utamanya. Itu fatal. Apalagi, ini bukan sekedar penyanyi utama dan backing vocalnya. Ini WL, singer, dan… Tuhan. WL aja nggak boleh menonjolkan dirinya, karena tetap “bintang utama” di setiap praise and worship session itu adalah Tuhan. Jadi, amit-amit kalau “cuma” singer aja, baru pertama kali pula, udah mau menonjolkan diri.
Unfortunately, it’s not an easy thing for a choleric person… like me. Nih, kalau mau definisi choleric menurut Wikipedia:
The choleric temperament is fundamentally ambitious and leader-like. They have a lot of aggression, energy, and/or passion, and try to instill it in others. They can dominate people of other temperaments, especially phlegmatic types. Many great charismatic military and political figures were choleric. They like to be in charge of everything.
Yes, I like to be in charge of everything. Literally everything. Jadi kalau harus tunduk sama orang lain, itu rasanya tersiksaaaa banget. Saya suka menonjol. Saya suka jadi pusat perhatian dan mendapat pujian. Lead is my nature, it’s in my blood. But I knew what role I have to play, so I asked God to grant me humility… and He did.
Selama pelayanan kemarin, saya ingat sekali, tiap kali saya mau “unjuk gigi” dengan improvisasi di lagu, atau apa pun deh yang intinya pengen menonjolkan diri, saya berasa ditegur gitu. Diingatkan, “Halo, Stephanie, this is not about you, it’s all about Me. And do submit to your authority.”
Dan saya ingat siapa saya. Saya ingat saya berdiri di hadapan siapa. Saya ingat siapa otoritas saya. And I humble myself before God. I submit to my authority, who were my worship leader. I played the role I had to play… a supporter.
And you know what, I felt more accomplished :D
Saya merasa bersyukur banget, karena dikasih satu bidang lagi di mana saya bisa melayani Tuhan, sekaligus belajar banyak hal. Use me more and more, o Lord, for Your glory :)
Comments