Kemarin, waktu lagi cari bahan buat church bulletin (saya ikut pelayanan church bulletin di gereja saya di sini), saya menemukan christian cartoon ini:
Dan langsung merasa… *PLAAAAAK*
Bukankah kita sering kali mengomel dan menggerutu, kenapa nggak punya ini, kenapa nggak punya itu, kenapa begini, kenapa begitu. Mungkin sebagian dari kita (saya juga masih sih *sigh*) punya banyak keluhan:
Kita memilih hidup dalam zona “selalu ada yang bisa kita keluhkan” padahal kita bisa tinggal dalam zona “selalu ada yang bisa kita syukuri.”
Kita memilih melihat ke atas dan menghitung apa yang tidak kita punya, ketimbang melongok ke bawah dan menghitung seberapa banyak berkat yang telah kita terima.
You’re not alone. Saya pun seringkali merasa seperti itu. Itu hal yang manusiawi, tapi bukan hal yang baik, jika kita memutuskan untuk terus berkubang di dalamnya. Tidak bersyukur adalah akar gerutuan, yang lama-kelamaan akan jadi iri hati, dan Alkitab bilang…
Dari hal yang kecil, akan jadi hal yang besar. Seperti api kecil yang bisa menimbulkan kebakaran hutan yang dahsyat jika tidak langsung dipadamkan saat nyalanya masih kecil.
Lately, God has taught me a lot in this area. Right after I complain about something, He showed me a worse case happened unto someone, and I realized… how blessed I am. Ketika saya mengeluhkan hal sepele tentang orangtua saya, Tuhan mengingatkan akan anak-anak yang tidak memiliki orangtua, dan kontan saya tutup mulut. Ketika saya mengeluhkan tugas kuliah yang banyaknya naujubile, Tuhan mengingatkan saya akan mereka yang begitu ingin bisa kuliah tapi tak ada biaya, dan saya terdiam. Ketika saya mengeluhkan rumah yang berantakan, Tuhan mengingatkan saya akan mereka yang terpaksa tidur di kolong jembatan atau emperan jalan hanya dengan beralaskan kardus, dan saya tersadar…betapa diberkatinya saya karena masih memiliki rumah untuk berteduh.
Kemarin, seperti kebiasaan rutin di minggu pertama, gereja saya mengadakan komsel gabungan. Cuma yang nggak biasa, kemarin kita fokus pada give thanks atas semua yang sudah Tuhan lakukan dalam hidup kita di tahun 2011 ini. Setiap orang dipanggil maju satu-persatu ke depan untuk menceritakan berkat dan penyertaan yang sudah mereka terima dari Tuhan sepanjang tahun ini, dan mengucap syukur atasnya.
Teman-teman saya maju satu-persatu, menceritakan pergumulan mereka dalam mencari kerja, mendapatkan work permit, mendoakan anggota keluarga yang belum percaya, memilih meninggalkan zona nyaman untuk kuliah lagi padahal sebelumnya sudah punya pekerjaan yang oke, kehilangan anggota keluarga yang disayangi, dan banyak lagi.
Waktu itulah saya sadar… setiap orang mempunyai salibnya sendiri, sama seperti setiap orang memiliki berkatnya sendiri. Tidak ada seorang pun yang tidak mempunyai salib atau tidak diberkati. Bagaimana cara kita memandang hal itu lah yang menentukan sikap kita dalam menghadapinya.
Sama seperti dalam perumpamaan seorang tuan yang mempercayakan lima, dua, dan satu talenta kepada hamba-hambanya (Matius 25 : 14-30), Tuhan memberikan salib dan berkat kita pun menurut kesanggupan kita.
Mereka yang diberi Tuhan lima talenta, pada akhirnya tentu harus memberi pertanggungjawaban lebih dibanding mereka yang “hanya” diberi dua talenta. Dalam perumpamaan talenta itu, sang tuan tidak marah kepada hamba yang diberi dua talenta dan “hanya” menghasilkan dua talenta. Ia tidak membandingkannya dengan sang hamba yang menghasilkan lima talenta, karena ia tahu, hamba tersebut sudah mengusahakan semua talenta yang diberikan kepadanya dengan semaksimal mungkin, dan itulah yang terpenting.
Pagi ini mama saya cerita bahwa mobilnya tadi pagi mogok, padahal beliau harus memimpin persekutuan doa pagi di gereja. Jengkel karena akhirnya mobilnya tetap nggak mau nyala meski sudah distarter berulang-ulang, Mama akhirnya memutuskan untuk ke gereja dengan naik taksi.
Sekembali dari gereja, Mama telepon montir langganan kami agar datang ke rumah dan mengecek kondisi mobil. Setelah dicek, montirnya bilang, “Bu, aki mobilnya bermasalah. Untung tadi pagi mobilnya nggak mau nyala dan nggak Ibu paksa bawa, kalau nggak pasti meledak di tengah jalan dan terbakar.”
Waktu membaca SMS Mama, saya gemetar, dan langsung berlutut untuk berdoa. Saya yakin sekali, Tuhan sendirilah yang melindungi Mama dengan nggak membiarkan mobilnya menyala tadi pagi. Saya nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika tadi pagi mesin mobil tetap mau menyala, dan Mama menyetir mobil itu ke gereja... Dan saya bersyukur Tuhan membuat mobil itu ngadat tadi pagi.
Kadang, kita menggerutu akan kondisi “mobil yang nggak mau menyala”, padahal Tuhan mengizinkan itu terjadi semata untuk melindungi kita dari situasi yang lebih buruk. So yes, He does mean it when He inspired Paul to write the letter to the Thessalonians:
The truth is, God knows the future, while we don’t. So, count your blessings, and start to give thanks to Him… in ALL circumstances.
And let this question remind you even more:
God bless! :)
Dan langsung merasa… *PLAAAAAK*
Bukankah kita sering kali mengomel dan menggerutu, kenapa nggak punya ini, kenapa nggak punya itu, kenapa begini, kenapa begitu. Mungkin sebagian dari kita (saya juga masih sih *sigh*) punya banyak keluhan:
- “Ngapain saya bersyukur, sampai sekarang saya belum dapat pasangan hidup!”
- “Ngapain saya bersyukur, ekonomi keluarga saya masih susah sampai sekarang, harus hidup super irit!”
- “Ngapain saya bersyukur, penyakit saya dari bertahun-tahun lalu belum juga sembuh!”
- …dsb, dll, dkk, dst.
Kita memilih hidup dalam zona “selalu ada yang bisa kita keluhkan” padahal kita bisa tinggal dalam zona “selalu ada yang bisa kita syukuri.”
Kita memilih melihat ke atas dan menghitung apa yang tidak kita punya, ketimbang melongok ke bawah dan menghitung seberapa banyak berkat yang telah kita terima.
You’re not alone. Saya pun seringkali merasa seperti itu. Itu hal yang manusiawi, tapi bukan hal yang baik, jika kita memutuskan untuk terus berkubang di dalamnya. Tidak bersyukur adalah akar gerutuan, yang lama-kelamaan akan jadi iri hati, dan Alkitab bilang…
Di mana ada iri hati … di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. (Yakobus 3 : 16)
Dari hal yang kecil, akan jadi hal yang besar. Seperti api kecil yang bisa menimbulkan kebakaran hutan yang dahsyat jika tidak langsung dipadamkan saat nyalanya masih kecil.
Lately, God has taught me a lot in this area. Right after I complain about something, He showed me a worse case happened unto someone, and I realized… how blessed I am. Ketika saya mengeluhkan hal sepele tentang orangtua saya, Tuhan mengingatkan akan anak-anak yang tidak memiliki orangtua, dan kontan saya tutup mulut. Ketika saya mengeluhkan tugas kuliah yang banyaknya naujubile, Tuhan mengingatkan saya akan mereka yang begitu ingin bisa kuliah tapi tak ada biaya, dan saya terdiam. Ketika saya mengeluhkan rumah yang berantakan, Tuhan mengingatkan saya akan mereka yang terpaksa tidur di kolong jembatan atau emperan jalan hanya dengan beralaskan kardus, dan saya tersadar…betapa diberkatinya saya karena masih memiliki rumah untuk berteduh.
Kemarin, seperti kebiasaan rutin di minggu pertama, gereja saya mengadakan komsel gabungan. Cuma yang nggak biasa, kemarin kita fokus pada give thanks atas semua yang sudah Tuhan lakukan dalam hidup kita di tahun 2011 ini. Setiap orang dipanggil maju satu-persatu ke depan untuk menceritakan berkat dan penyertaan yang sudah mereka terima dari Tuhan sepanjang tahun ini, dan mengucap syukur atasnya.
Teman-teman saya maju satu-persatu, menceritakan pergumulan mereka dalam mencari kerja, mendapatkan work permit, mendoakan anggota keluarga yang belum percaya, memilih meninggalkan zona nyaman untuk kuliah lagi padahal sebelumnya sudah punya pekerjaan yang oke, kehilangan anggota keluarga yang disayangi, dan banyak lagi.
Waktu itulah saya sadar… setiap orang mempunyai salibnya sendiri, sama seperti setiap orang memiliki berkatnya sendiri. Tidak ada seorang pun yang tidak mempunyai salib atau tidak diberkati. Bagaimana cara kita memandang hal itu lah yang menentukan sikap kita dalam menghadapinya.
Sama seperti dalam perumpamaan seorang tuan yang mempercayakan lima, dua, dan satu talenta kepada hamba-hambanya (Matius 25 : 14-30), Tuhan memberikan salib dan berkat kita pun menurut kesanggupan kita.
Yang seorang diberikannya lima talenta, yang seorang lagi dua dan yang seorang lain lagi satu, masing-masing menurut kesanggupannya, lalu ia berangkat. (Matius 25 : 15)
Mereka yang diberi Tuhan lima talenta, pada akhirnya tentu harus memberi pertanggungjawaban lebih dibanding mereka yang “hanya” diberi dua talenta. Dalam perumpamaan talenta itu, sang tuan tidak marah kepada hamba yang diberi dua talenta dan “hanya” menghasilkan dua talenta. Ia tidak membandingkannya dengan sang hamba yang menghasilkan lima talenta, karena ia tahu, hamba tersebut sudah mengusahakan semua talenta yang diberikan kepadanya dengan semaksimal mungkin, dan itulah yang terpenting.
Pagi ini mama saya cerita bahwa mobilnya tadi pagi mogok, padahal beliau harus memimpin persekutuan doa pagi di gereja. Jengkel karena akhirnya mobilnya tetap nggak mau nyala meski sudah distarter berulang-ulang, Mama akhirnya memutuskan untuk ke gereja dengan naik taksi.
Sekembali dari gereja, Mama telepon montir langganan kami agar datang ke rumah dan mengecek kondisi mobil. Setelah dicek, montirnya bilang, “Bu, aki mobilnya bermasalah. Untung tadi pagi mobilnya nggak mau nyala dan nggak Ibu paksa bawa, kalau nggak pasti meledak di tengah jalan dan terbakar.”
Waktu membaca SMS Mama, saya gemetar, dan langsung berlutut untuk berdoa. Saya yakin sekali, Tuhan sendirilah yang melindungi Mama dengan nggak membiarkan mobilnya menyala tadi pagi. Saya nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika tadi pagi mesin mobil tetap mau menyala, dan Mama menyetir mobil itu ke gereja... Dan saya bersyukur Tuhan membuat mobil itu ngadat tadi pagi.
Kadang, kita menggerutu akan kondisi “mobil yang nggak mau menyala”, padahal Tuhan mengizinkan itu terjadi semata untuk melindungi kita dari situasi yang lebih buruk. So yes, He does mean it when He inspired Paul to write the letter to the Thessalonians:
Give thanks in all circumstances. (1 Thessalonians 5 : 18 NIV)
The truth is, God knows the future, while we don’t. So, count your blessings, and start to give thanks to Him… in ALL circumstances.
And let this question remind you even more:
What if you wake up tomorrow and having only the things you are thankful for today?
God bless! :)
Comments
btw aku suka kalimat Cici, "Ketika kita bahagia, biarlah give thanks itu mengalir dari hati yang penuh sukacita. Tapi ketika kita nggak ngerti, biarlah tetap give thanks itu mengalir dari hati yang penuh iman." so sweet! :')