Semalam, saya mendapat bacaan saat teduh yang sangat menarik: Mikha 6 : 8-16, dan tema yang diangkat tentang kecurangan.
6:8 "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?"
6:9 Dengarlah, TUHAN berseru kepada kota: -- adalah bijaksana untuk takut kepada nama-Nya --: "Dengarlah, hai suku bangsa dan orang kota!
6:10 Masakan Aku melupakan harta benda kefasikan di rumah orang fasik dan takaran efa yang kurang dan terkutuk itu?
6:11 Masakan Aku membiarkan tidak dihukum orang yang membawa neraca palsu atau pundi-pundi berisi batu timbangan tipu?
6:12 Orang-orang kaya di kota itu melakukan banyak kekerasan, penduduknya berkata dusta dan lidah dalam mulut mereka adalah penipu.
6:13 Maka Aku pun mulai memukul engkau, menanduskan engkau oleh karena dosamu.
6:14 Engkau ini akan makan, tetapi tidak menjadi kenyang, dan perutmu tetap mengamuk karena lapar; engkau akan menyingkirkan sesuatu, tetapi tidak dapat menyelamatkannya, dan apa yang dapat kauselamatkan, akan Kuserahkan kepada pedang.
6:15 Engkau ini akan menabur, tetapi tidak menuai, engkau ini akan mengirik buah zaitun, tetapi tidak berurap dengan minyaknya; juga mengirik buah anggur, tetapi tidak meminum anggurnya.
Jujur saja, sewaktu membaca perikop itu, rasa bangga meluap dalam hati saya, karena saya merasa saya bekerja dengan jujur (yang berarti tidak termasuk orang yang membawa neraca palsu, ay. 11), dan juga tidak pernah melakukan kecurangan (yang berarti tidak membawa pundi-pundi berisi batu timbangan tipu, ay. 11).
Tapi kesadaran ini tiba-tiba menerpa saya, dan begitu menyesakkan hati: ya, saya memang tidak pernah menggunakan “neraca palsu” pada barang dagangan atau dalam pekerjaan saya, tapi tidakkah saya sering menggunakan “neraca palsu” itu pada sesama saya? Tidakkah saya sering mengurangi “berat” karakter si A yang sesungguhnya, ketika saya menceritakan rumor tentang kebiasaan buruk si A, misalnya, pada si B?
Dan ya, saya tidak pernah membawa “pundi-pundi berisi batu timbangan tipu” untuk barang yang saya jual, tapi tidakkah saya sering menambah “berat” saya, ketika menyombongkan tentang perbuatan baik yang saya lakukan pada si X, di hadapan si Y?
Ternyata... saya membawa neraca palsu dan pundi-pundi berisi batu timbangan tipu itu.
Dan apa yang Tuhan katakan akan terjadi pada orang-orang seperti itu? Pada orang-orang... seperti saya?
• Tuhan akan memukul saya, menanduskan saya karena dosa-dosa saya. (ay. 13)
• Saya akan makan, tetapi tidak menjadi kenyang, dan perut saya tetap mengamuk karena lapar (ay. 14), yang berarti saya tidak akan pernah puas dengan apa yang saya peroleh.
• Saya akan akan menyingkirkan (menyimpan bagi diri saya) sesuatu, tetapi tidak dapat menyelamatkannya, dan apa yang dapat saya selamatkan, pada akhirnya pun akan diserahkan Tuhan kepada pedang, alias akan binasa. (ay. 14)
Bergidik, gemetar, dan hancur hati... itulah reaksi saya ketika Firman-Nya menyadarkan saya. Memang benar apa yang dikatakan penulis kitab Ibrani, bahwa Firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. (Ibrani 4:12)
Mungkin kita tidak menyadari, tapi diam-diam kita juga membawa "neraca palsu dan pundi-pundi berisi batu timbangan tipu” itu. Yuk, kita berhenti menggunakan “neraca palsu dan pundi-pundi berisi batu timbangan tipu”, baik terhadap benda, terhadap sesama, maupun terhadap diri kita sendiri, dan mulai melakukan apa yang Tuhan tuntut dari kita, yaitu: berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah.
Tuhan memberkati kita semua :)
6:8 "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?"
6:9 Dengarlah, TUHAN berseru kepada kota: -- adalah bijaksana untuk takut kepada nama-Nya --: "Dengarlah, hai suku bangsa dan orang kota!
6:10 Masakan Aku melupakan harta benda kefasikan di rumah orang fasik dan takaran efa yang kurang dan terkutuk itu?
6:11 Masakan Aku membiarkan tidak dihukum orang yang membawa neraca palsu atau pundi-pundi berisi batu timbangan tipu?
6:12 Orang-orang kaya di kota itu melakukan banyak kekerasan, penduduknya berkata dusta dan lidah dalam mulut mereka adalah penipu.
6:13 Maka Aku pun mulai memukul engkau, menanduskan engkau oleh karena dosamu.
6:14 Engkau ini akan makan, tetapi tidak menjadi kenyang, dan perutmu tetap mengamuk karena lapar; engkau akan menyingkirkan sesuatu, tetapi tidak dapat menyelamatkannya, dan apa yang dapat kauselamatkan, akan Kuserahkan kepada pedang.
6:15 Engkau ini akan menabur, tetapi tidak menuai, engkau ini akan mengirik buah zaitun, tetapi tidak berurap dengan minyaknya; juga mengirik buah anggur, tetapi tidak meminum anggurnya.
Jujur saja, sewaktu membaca perikop itu, rasa bangga meluap dalam hati saya, karena saya merasa saya bekerja dengan jujur (yang berarti tidak termasuk orang yang membawa neraca palsu, ay. 11), dan juga tidak pernah melakukan kecurangan (yang berarti tidak membawa pundi-pundi berisi batu timbangan tipu, ay. 11).
Tapi kesadaran ini tiba-tiba menerpa saya, dan begitu menyesakkan hati: ya, saya memang tidak pernah menggunakan “neraca palsu” pada barang dagangan atau dalam pekerjaan saya, tapi tidakkah saya sering menggunakan “neraca palsu” itu pada sesama saya? Tidakkah saya sering mengurangi “berat” karakter si A yang sesungguhnya, ketika saya menceritakan rumor tentang kebiasaan buruk si A, misalnya, pada si B?
Dan ya, saya tidak pernah membawa “pundi-pundi berisi batu timbangan tipu” untuk barang yang saya jual, tapi tidakkah saya sering menambah “berat” saya, ketika menyombongkan tentang perbuatan baik yang saya lakukan pada si X, di hadapan si Y?
Ternyata... saya membawa neraca palsu dan pundi-pundi berisi batu timbangan tipu itu.
Dan apa yang Tuhan katakan akan terjadi pada orang-orang seperti itu? Pada orang-orang... seperti saya?
• Tuhan akan memukul saya, menanduskan saya karena dosa-dosa saya. (ay. 13)
• Saya akan makan, tetapi tidak menjadi kenyang, dan perut saya tetap mengamuk karena lapar (ay. 14), yang berarti saya tidak akan pernah puas dengan apa yang saya peroleh.
• Saya akan akan menyingkirkan (menyimpan bagi diri saya) sesuatu, tetapi tidak dapat menyelamatkannya, dan apa yang dapat saya selamatkan, pada akhirnya pun akan diserahkan Tuhan kepada pedang, alias akan binasa. (ay. 14)
Bergidik, gemetar, dan hancur hati... itulah reaksi saya ketika Firman-Nya menyadarkan saya. Memang benar apa yang dikatakan penulis kitab Ibrani, bahwa Firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. (Ibrani 4:12)
Mungkin kita tidak menyadari, tapi diam-diam kita juga membawa "neraca palsu dan pundi-pundi berisi batu timbangan tipu” itu. Yuk, kita berhenti menggunakan “neraca palsu dan pundi-pundi berisi batu timbangan tipu”, baik terhadap benda, terhadap sesama, maupun terhadap diri kita sendiri, dan mulai melakukan apa yang Tuhan tuntut dari kita, yaitu: berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah.
Tuhan memberkati kita semua :)
Comments