Belakangan ini, terjadi banyak sekali hal yang membuat saya banyak berpikir. Bukan berarti sebelumnya saya nggak berpikir lho ya… *eh?*
Last week, a friend of mine passed away. Geez, I was so shocked when I checked my contacts at BlackBerry messenger and found out that all of my high school friends used “RIP our beloved friend Nagako. God be with U” image as their display picture…
Nagako Agus was one of my high school friends at SMA Ciputra Surabaya. Pertama kali ketemu dia di hari pertama masuk SMA. Namanya yang “berbau” Jepang selalu mengundang pertanyaan orang saat pertama berkenalan. Mungkin pertanyaan yang paling sering ia dengar seumur hidupnya, dan membuatnya bosan, adalah “Orang Jepang, ya?” Padahal menurutnya, dia nggak punya darah Jepang sama sekali :)
Berhubung saat pelajaran agama di SMA kelas saya (10 VCE) selalu digabung dengan kelas Nagako (10B), dan saya satu-satunya cewek yang beragama Kristen dari kelas saya, otomatis saya pun selalu duduk bareng cewek-cewek 10B: Nagako, Naomi, Merlyn, dll. Time passed by, I moved from Ciputra, and had no contact with Nagako eversince.
Kabar terakhir tentang Nagako yang saya dengar, dan membuat saya tersenyum sambil berpikir dunia-itu-beneran-sempit-ya adalah she got engaged, dengan kakak seorang teman saya saat SD dan SMP. Life is unpredictable, huh? :)
Dan ketika beberapa waktu lalu saya sempat melihat seorang teman SMA saya memajang tulisan “get well soon Nagako” di display picture BBM-nya, yang saya pikirkan adalah mungkin Nagako terkena penyakit yang “ringan” saja, semacam demam berdarah atau tifus. Tapi beberapa hari sebelum Nagako nggak ada, saya dapat broadcast message dari teman saya (yang bukan teman SMA, tapi ternyata mengenal Nagako juga. Again, dunia-itu-beneran-sempit-ya?), bahwa Nagako sedang dalam kondisi kritis di Singapura. Saya mencelos. God, dia sakit apa?
Dan cerita berlanjut dengan hal yang saya ceritakan di awal postingan ini, bahwa saya menemukan teman-teman saya memasang image “RIP Nagako” di BBM mereka…
Meski rasanya tak perlu, saya memastikan pada salah satu teman saya yang notabene salah satu sahabat Nagako, Ying-Ying. Dan ya, kepastian itu lah yang saya dengar. Kepastian bahwa Nagako memang sudah nggak ada, kepastian bahwa dia sudah dipanggil pulang oleh Bapa… kepastian yang sampai detik terakhir saat ada notif “Ying is typing” tetap saya harapkan supaya tidak saya dengar…
And I suddeny cried.
Bukan nangis yang hanya meneteskan air mata dalam diam, tapi saya menangis tersedu-sedu. Saya nggak punya banyak memori tentang Nagako, sudah lama tidak kontak dengannya, tapi itupun sudah cukup membuat saya merasakan gelombang kehilangan yang sangat besar.
God, she was so young, and I heard that she’s getting married next year…
Kok bisa, Tuhan? Kok bisa? :(
Besok lusanya, saya dan seorang teman saya, Ingrid, datang ke tempat persemayaman jenazah Nagako di Adi Jasa. Peti sudah ditutup, dan sudah dihias dengan nuansa putih-hijau muda yang cantik. Foto Nagako yang sedang tersenyum, dipajang di depan peti.
Secara nggak sadar, saya bilang pada Ingrid, “Kita tuh seharusnya datang ke pernikahannya ya… bukan persemayamannya…” Ingrid mengangguk.
Dan setelah mengatakan itu, saya merasakan tenggorokan saya tercekat, dan mata saya memanas. Pertanyaan yang sama terus terucap dalam hati saya: Kok bisa, Tuhan? Kok bisa?
Kesadaran bahwa Nagako seusia saya (23 tahun), bahwa dia sedang menata masa depannya dengan rencana-rencana yang begitu indah, tapi tiba-tiba saja sakit dan dipanggil Tuhan, menerpa saya dengan begitu hebat. Bagaimana jika hal itu terjadi pada saya? Hal itu bisa terjadi pada siapa saja, kan? Ya, tanpa kecuali.
Dan saat itu terjadi, sudah siapkah saya? Apa saya sudah berikan yang terbaik bagi keluarga saya? Bagi teman-teman saya? Bagi komunitas tempat saya tinggal? Dan apakah saya sudah menyenangkan hati Tuhan selama saya hidup?
Saya seringkali mengeluh betapa suatu hari dapat berlalu dengan sangat lambat. Saya juga sering membuang-buang waktu dengan melakukan hal yang tak berarti. Saya acapkali asyik dengan dunia saya sendiri, dan tak mengacuhkan keluarga, atau teman, yang sedang bersama saya saat itu. Bagaimana saya tahu, jika saat itu mungkin saja menjadi saat terakhir yang dapat saya habiskan bersama mereka?
Weekend kemarin saya menonton Source Code. There’s a dialogue from the movie that I like so much.
Yes, make every second count. Live. Love. Laugh. Enjoy your life. Hiduplah menyenangkan hati Tuhan.
Rest in peace, my beloved friend Nagako Agus. I will never forget you. ‘Till we meet again… :)
Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana. (Mazmur 90:12)
Last week, a friend of mine passed away. Geez, I was so shocked when I checked my contacts at BlackBerry messenger and found out that all of my high school friends used “RIP our beloved friend Nagako. God be with U” image as their display picture…
Nagako Agus was one of my high school friends at SMA Ciputra Surabaya. Pertama kali ketemu dia di hari pertama masuk SMA. Namanya yang “berbau” Jepang selalu mengundang pertanyaan orang saat pertama berkenalan. Mungkin pertanyaan yang paling sering ia dengar seumur hidupnya, dan membuatnya bosan, adalah “Orang Jepang, ya?” Padahal menurutnya, dia nggak punya darah Jepang sama sekali :)
Berhubung saat pelajaran agama di SMA kelas saya (10 VCE) selalu digabung dengan kelas Nagako (10B), dan saya satu-satunya cewek yang beragama Kristen dari kelas saya, otomatis saya pun selalu duduk bareng cewek-cewek 10B: Nagako, Naomi, Merlyn, dll. Time passed by, I moved from Ciputra, and had no contact with Nagako eversince.
Kabar terakhir tentang Nagako yang saya dengar, dan membuat saya tersenyum sambil berpikir dunia-itu-beneran-sempit-ya adalah she got engaged, dengan kakak seorang teman saya saat SD dan SMP. Life is unpredictable, huh? :)
Dan ketika beberapa waktu lalu saya sempat melihat seorang teman SMA saya memajang tulisan “get well soon Nagako” di display picture BBM-nya, yang saya pikirkan adalah mungkin Nagako terkena penyakit yang “ringan” saja, semacam demam berdarah atau tifus. Tapi beberapa hari sebelum Nagako nggak ada, saya dapat broadcast message dari teman saya (yang bukan teman SMA, tapi ternyata mengenal Nagako juga. Again, dunia-itu-beneran-sempit-ya?), bahwa Nagako sedang dalam kondisi kritis di Singapura. Saya mencelos. God, dia sakit apa?
Dan cerita berlanjut dengan hal yang saya ceritakan di awal postingan ini, bahwa saya menemukan teman-teman saya memasang image “RIP Nagako” di BBM mereka…
Meski rasanya tak perlu, saya memastikan pada salah satu teman saya yang notabene salah satu sahabat Nagako, Ying-Ying. Dan ya, kepastian itu lah yang saya dengar. Kepastian bahwa Nagako memang sudah nggak ada, kepastian bahwa dia sudah dipanggil pulang oleh Bapa… kepastian yang sampai detik terakhir saat ada notif “Ying is typing” tetap saya harapkan supaya tidak saya dengar…
And I suddeny cried.
Bukan nangis yang hanya meneteskan air mata dalam diam, tapi saya menangis tersedu-sedu. Saya nggak punya banyak memori tentang Nagako, sudah lama tidak kontak dengannya, tapi itupun sudah cukup membuat saya merasakan gelombang kehilangan yang sangat besar.
God, she was so young, and I heard that she’s getting married next year…
Kok bisa, Tuhan? Kok bisa? :(
Besok lusanya, saya dan seorang teman saya, Ingrid, datang ke tempat persemayaman jenazah Nagako di Adi Jasa. Peti sudah ditutup, dan sudah dihias dengan nuansa putih-hijau muda yang cantik. Foto Nagako yang sedang tersenyum, dipajang di depan peti.
Secara nggak sadar, saya bilang pada Ingrid, “Kita tuh seharusnya datang ke pernikahannya ya… bukan persemayamannya…” Ingrid mengangguk.
Dan setelah mengatakan itu, saya merasakan tenggorokan saya tercekat, dan mata saya memanas. Pertanyaan yang sama terus terucap dalam hati saya: Kok bisa, Tuhan? Kok bisa?
Kesadaran bahwa Nagako seusia saya (23 tahun), bahwa dia sedang menata masa depannya dengan rencana-rencana yang begitu indah, tapi tiba-tiba saja sakit dan dipanggil Tuhan, menerpa saya dengan begitu hebat. Bagaimana jika hal itu terjadi pada saya? Hal itu bisa terjadi pada siapa saja, kan? Ya, tanpa kecuali.
Dan saat itu terjadi, sudah siapkah saya? Apa saya sudah berikan yang terbaik bagi keluarga saya? Bagi teman-teman saya? Bagi komunitas tempat saya tinggal? Dan apakah saya sudah menyenangkan hati Tuhan selama saya hidup?
Saya seringkali mengeluh betapa suatu hari dapat berlalu dengan sangat lambat. Saya juga sering membuang-buang waktu dengan melakukan hal yang tak berarti. Saya acapkali asyik dengan dunia saya sendiri, dan tak mengacuhkan keluarga, atau teman, yang sedang bersama saya saat itu. Bagaimana saya tahu, jika saat itu mungkin saja menjadi saat terakhir yang dapat saya habiskan bersama mereka?
Weekend kemarin saya menonton Source Code. There’s a dialogue from the movie that I like so much.
Colter: What would you do if you knew you only had one minute to live?
Christina: I’d make those seconds count.
Yes, make every second count. Live. Love. Laugh. Enjoy your life. Hiduplah menyenangkan hati Tuhan.
Rest in peace, my beloved friend Nagako Agus. I will never forget you. ‘Till we meet again… :)
Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana. (Mazmur 90:12)
Comments