Penulis buku The Female Brain, Dr. Louann Brizendine, seorang neuropsychologist lulusan serentetan institusi pendidikan bergengsi: University of California Berkeley, Yale, dan Harvard, mengatakan, “Ketika seorang manusia jatuh cinta, syaraf otaknya mengeluarkan berbagai hormon, antara lain: dopamine, oxytocin, estrogen (jika perempuan) dan testosteron (jika laki-laki).”
Dopamine adalah hormon yang dikeluarkan otak dan membawa sensasi rasa menyenangkan tertentu di saat mendapatkan stimuli cinta. Efek “high”nya kurang lebih sama dengan yang didapat ketika seseorang menggunakan narkoba. Wow!
Ketika seseorang jatuh cinta (atau ketagihan narkoba), bagian otak yang berperan sebagai fear alert system (amygdala), dan pusat berpikir kritis serta pengambil keputusan (anterior cingulated cortex), seakan “dinonaktifkan” karena otak dibanjiri oleh dopamine dan oxytocin.
Mungkinkah karena banjir dopamine dan oxytocin ini, maka ketika seseorang jatuh cinta, ia tak bisa berpikir kritis dan imbasnya selalu melihat orang yang dicintainya sebagai figur yang sempurna? Rasa-rasanya iya. Coba ingat saat awal jatuh cinta atau pertama jadian dengan pacar baru, pasti setiap gerak-geriknya, setiap katanya, setiap perbuatannya, selalu membuat kita merasa berbunga-bunga. People literally can see flowers blooming around you!
Tapi, lama-kelamaan, seiring berlalunya waktu, kebanyakan perasaan cinta mulai memudar. Dan seiring berkurangnya produksi dopamine dan oxytocin yang dihasilkan otak kita, kita pun mulai dapat melihat, bahwa pasangan kita tidak sempurna. Mungkin bentuk hidungnya terlalu besar, atau dia ternyata lelet, atau pilihan bajunya sering nggak matching, dan lain sebagainya. Intinya, dia ternyata tidak seperti yang kita harapkan.
Kita merasa kecewa ketika ketidaksempurnaan itu mulai terlihat.
Dalam Matius 11:6, Yesus mengatakan, “Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.”
Yang berbahagia bukan hanya mereka yang tidak menolak Yesus, tapi JUGA mereka yang tidak kecewa terhadap-Nya.
Coba kita jujur, berapa kali dalam hidup kita, Yesus “mengecewakan” kita? Berapa kali dalam hidup kita, Yesus ternyata tidak seperti yang kita harapkan? Ia tidak memberikan cowok atau cewek yang selama ini kita doakan mati-matian, Ia tidak menyembuhkan sakit-penyakit kita, Ia malah memberikan posisi yang kita idam-idamkan dalam pekerjaan kita kepada orang yang menjadi saingan kita di kantor...
Bukankah Yesus sering mengecewakan kita?
Ya, jika kita memandang semua perbuatan-Nya dari sudut pandang kita, melalui segala keberdosaan dan keterbatasan kita.
Awal kita jatuh cinta pada-Nya, kita sangat menggebu untuk bertemu dengan-Nya, melayani-Nya, bicara pada-Nya... tapi seiring hilangnya pengaruh dopamine dan oxytocin rohani dalam diri kita, seiring seringnya Ia memberi bukan yang kita minta, cinta kita pada-Nya pun mulai memudar.
Kita seperti anak kecil yang memandang sulaman yang tengah dikerjakan ibunya dari sisi bawah sulaman tersebut. Dari bawah, sulaman tersebut kelihatan tak keruan, sama sekali tak membentuk gambar yang indah, dan kita pun kecewa. Tapi Yesus, seperti ibu anak kecil tersebut, melihat “sulaman” yang tengah dikerjakannya itu dari atas, dan Ia dapat melihat bahwa “sulaman” itu sangat indah. Ia sedang mengerjakan gambar yang indah dalam hidup kita, dan kita hanya bisa melihat seluruh gambar yang indah itu jika sulamannya telah selesai.
Pada saat itu, barulah kita mengerti, bahwa, ternyata, Ia tidak pernah mengecewakan kita.
Tuhan memberkati :)
Dopamine adalah hormon yang dikeluarkan otak dan membawa sensasi rasa menyenangkan tertentu di saat mendapatkan stimuli cinta. Efek “high”nya kurang lebih sama dengan yang didapat ketika seseorang menggunakan narkoba. Wow!
Ketika seseorang jatuh cinta (atau ketagihan narkoba), bagian otak yang berperan sebagai fear alert system (amygdala), dan pusat berpikir kritis serta pengambil keputusan (anterior cingulated cortex), seakan “dinonaktifkan” karena otak dibanjiri oleh dopamine dan oxytocin.
Mungkinkah karena banjir dopamine dan oxytocin ini, maka ketika seseorang jatuh cinta, ia tak bisa berpikir kritis dan imbasnya selalu melihat orang yang dicintainya sebagai figur yang sempurna? Rasa-rasanya iya. Coba ingat saat awal jatuh cinta atau pertama jadian dengan pacar baru, pasti setiap gerak-geriknya, setiap katanya, setiap perbuatannya, selalu membuat kita merasa berbunga-bunga. People literally can see flowers blooming around you!
Tapi, lama-kelamaan, seiring berlalunya waktu, kebanyakan perasaan cinta mulai memudar. Dan seiring berkurangnya produksi dopamine dan oxytocin yang dihasilkan otak kita, kita pun mulai dapat melihat, bahwa pasangan kita tidak sempurna. Mungkin bentuk hidungnya terlalu besar, atau dia ternyata lelet, atau pilihan bajunya sering nggak matching, dan lain sebagainya. Intinya, dia ternyata tidak seperti yang kita harapkan.
Kita merasa kecewa ketika ketidaksempurnaan itu mulai terlihat.
Dalam Matius 11:6, Yesus mengatakan, “Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.”
Yang berbahagia bukan hanya mereka yang tidak menolak Yesus, tapi JUGA mereka yang tidak kecewa terhadap-Nya.
Coba kita jujur, berapa kali dalam hidup kita, Yesus “mengecewakan” kita? Berapa kali dalam hidup kita, Yesus ternyata tidak seperti yang kita harapkan? Ia tidak memberikan cowok atau cewek yang selama ini kita doakan mati-matian, Ia tidak menyembuhkan sakit-penyakit kita, Ia malah memberikan posisi yang kita idam-idamkan dalam pekerjaan kita kepada orang yang menjadi saingan kita di kantor...
Bukankah Yesus sering mengecewakan kita?
Ya, jika kita memandang semua perbuatan-Nya dari sudut pandang kita, melalui segala keberdosaan dan keterbatasan kita.
Awal kita jatuh cinta pada-Nya, kita sangat menggebu untuk bertemu dengan-Nya, melayani-Nya, bicara pada-Nya... tapi seiring hilangnya pengaruh dopamine dan oxytocin rohani dalam diri kita, seiring seringnya Ia memberi bukan yang kita minta, cinta kita pada-Nya pun mulai memudar.
Kita seperti anak kecil yang memandang sulaman yang tengah dikerjakan ibunya dari sisi bawah sulaman tersebut. Dari bawah, sulaman tersebut kelihatan tak keruan, sama sekali tak membentuk gambar yang indah, dan kita pun kecewa. Tapi Yesus, seperti ibu anak kecil tersebut, melihat “sulaman” yang tengah dikerjakannya itu dari atas, dan Ia dapat melihat bahwa “sulaman” itu sangat indah. Ia sedang mengerjakan gambar yang indah dalam hidup kita, dan kita hanya bisa melihat seluruh gambar yang indah itu jika sulamannya telah selesai.
Pada saat itu, barulah kita mengerti, bahwa, ternyata, Ia tidak pernah mengecewakan kita.
Tuhan memberkati :)
Comments
sebenarnya bagian itu bukan perumpamaan yang kubuat sendiri, i've read it somewhere, dan bermakna dalam banget buat aku, jadi aku share juga di postingan ini :)
semoga memberkati :)
Amin, Ia memang tak pernah mengecewakan kita
Biarpun kadang, jalanNya bukan jalan kita :)
kapan mau diseriusin nulis artikel macam ini, Steph?
target jangka panjangku memang adalah untuk nulis artikel semacam ini hehe. nanti kalau sudah pulang dari singapore, kalau Tuhan ijinkan, aku mau "memperdalam" :p