Hello from Singapore!
Eh? Singapore?
Yes, by 10 June 2011, and (hopefully) until October 2012, I’ll live at this country, taking my double major at international business and management entrepreneurship, at James Cook University.
Well, it’s a huge step, isn’t it?
FYI, saya sudah memiliki gelar D3 sejak 5,5 tahun yang lalu. I supposed to take my bachelor degree 5,5 years ago. Tapi karena waktu itu ekonomi susye (hehehe) yaaah, baru bisa kesampaian sekarang. Praise the LORD that I don’t lose my passion to study. But, yeah, I have another reason which I cannot share here. Someday you’ll know :)
Balik lagi ke topik “langkah besar” tadi… Sebelum berangkat, saya bekerja di perusahaan yang oke, dengan gaji oke, bos oke, asisten oke, dan karir oke. Semuanya oke deh. Keluarga juga oke, teman-teman oke, pokoknya segala sesuatu yang saya tinggalkan di Surabaya sedang berada pada masa-masa jayanya *lebay*. Sebagian besar orang, termasuk ortu saya, bertanya-tanya, ngapain saya nekat keluar dari zona nyaman saya, pindah ke negeri orang, hidup prihatin (yah, dari yang biasanya ngafe dan blenji sana-sini di Surabaya, sekarang jadi harus superpelit binti irit karena living cost di Singapore yang menggigit), dan memeras otak sedemikian rupa lagi karena kembali mengenyam bangku kuliah (masih untung nggak menganyam, pasti bukan hanya memeras otak, tapi juga memeras keringat!). Tapi, yah, kembali ke alasan yang tak bisa di-share itu tadi, saya merasa ini memang sudah saatnya. Tuhan nggak membuat saya menunda keberangkatan saya 5,5 tahun hanya karena Dia iseng. He doesn’t play, everything is in His plan ;)
Dan seperti pernah saya singgung di postingan saya sebelumnya, whatever God wants us to do, He takes responsibility for providing for it to be done. Saya bisa ngerasain banget, kali ini, nggak seperti 5,5 tahun yang lalu, semua jalan dimudahkan. Biayanya ya cukup aja pas waktunya bayar. Ada teman saya yang mau bantu ngurusin tetek-bengek pendaftaran kuliah tanpa dibayar sama sekali. Ada mantan dosen saya sewaktu D3 yang mau bantu carikan dokumen untuk kelengkapan pendaftaran padahal itu arsip lawas. Juga ada teman yang kebetulan roommatenya balik ke Indonesia di saat saya mau datang, hingga ada space tempat tinggal yang tersedia untuk saya. Saya yakin banget, semua itu nggak terjadi secara kebetulan, karena Allah turut bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.
Nah, setelah semua persiapan “fisik” selesai, tinggal lah persiapan mental. Sejujurnya, ini yang paling penting, karena ya itu tadi… I have to step out from my comfort zone. Bukan hal yang mudah, memang. Sampai beberapa hari sebelum berangkat pun, pertanyaan yang paling sering menggaung di kepala saya adalah: do I really have to go? God, am I really doing this?
Dan seolah benar-benar ingin menjawab keraguan saya, artikel di warta gereja saya pun mengangkat tema ini. Saya tuliskan ulang ya :)
Petrus adalah seorang nelayan yang sudah berpengalaman. Dia tahu bahwa saat yang paling baik untuk mengangkap ikan adalah malam hari. Sementara Yesus bukanlah nelayan. Dengan logika manusia, mungkinkah “seseorang” yang bukan nelayan memberikan nasihat profesional kepada nelayan kawakan? Tapi lihat jawab Petrus. “Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” (Lukas 5:4)
Yang terjadi kemudian sungguh ajaib. Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.” (ay 6-7)
Ini semua terjadi karena Petrus mau menuruti perintah Tuhan untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam (ay 4).
Hidup kita seringkali berhenti pada tempat yang dangkal, di pinggir-pinggir saja, karena itu merupakan tempat yang nyaman dan relatif tidak beresiko apa-apa. Kita tidak mau mengambil langkah maju karena ragu dan khawatir, takut akan resiko yang mungkin dihadapi, dan berat untuk melepaskan zona nyaman kita. Kita memilih hanya sebagai penonton setia dan bukan sebagai pelaku. Kita hanya mau dilayani, tanpa mau melayani. Dalam hidup dan pekerjaan pun, kita takut salah langkah, meskipun kita seringkali sadar bahwa Tuhan telah menyuruh kita untuk melakukan sesuatu, untuk melangkah maju, untuk masuk lebih dalam lagi. Padahal lihatlah, di tempat yang dalam itu ada rencana besar Tuhan untuk masing-masing kita.
Memang, untuk masuk ke tempat yang lebih dalam lagi ada banyak resiko menghadang. Mungkin ada badai, angin kencang di tengah laut, mungkin ada ombak tinggi menggulung, ada resiko kapal karam, ada resiko untuk terombang-ambing sendirian di tengah lautan luas, namun ingatlah sekali lagi, bahwa Tuhan sudah berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkan kita. “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan menginggalkan engkau.” (Ibrani 13:5b)
Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam menuju rencana-rencana besar Tuhan.
Oya, sehari sebelum keberangkatan, saya menulis status di FB, “24 hours before i step out from my comfort zone..” Surprisingly, my priest commented on it, “We never step out our comfort zone, we expand it.”
Guess what, in GOD, I found it true :)
PS: pic taken from here
Eh? Singapore?
Yes, by 10 June 2011, and (hopefully) until October 2012, I’ll live at this country, taking my double major at international business and management entrepreneurship, at James Cook University.
Well, it’s a huge step, isn’t it?
FYI, saya sudah memiliki gelar D3 sejak 5,5 tahun yang lalu. I supposed to take my bachelor degree 5,5 years ago. Tapi karena waktu itu ekonomi susye (hehehe) yaaah, baru bisa kesampaian sekarang. Praise the LORD that I don’t lose my passion to study. But, yeah, I have another reason which I cannot share here. Someday you’ll know :)
Balik lagi ke topik “langkah besar” tadi… Sebelum berangkat, saya bekerja di perusahaan yang oke, dengan gaji oke, bos oke, asisten oke, dan karir oke. Semuanya oke deh. Keluarga juga oke, teman-teman oke, pokoknya segala sesuatu yang saya tinggalkan di Surabaya sedang berada pada masa-masa jayanya *lebay*. Sebagian besar orang, termasuk ortu saya, bertanya-tanya, ngapain saya nekat keluar dari zona nyaman saya, pindah ke negeri orang, hidup prihatin (yah, dari yang biasanya ngafe dan blenji sana-sini di Surabaya, sekarang jadi harus superpelit binti irit karena living cost di Singapore yang menggigit), dan memeras otak sedemikian rupa lagi karena kembali mengenyam bangku kuliah (masih untung nggak menganyam, pasti bukan hanya memeras otak, tapi juga memeras keringat!). Tapi, yah, kembali ke alasan yang tak bisa di-share itu tadi, saya merasa ini memang sudah saatnya. Tuhan nggak membuat saya menunda keberangkatan saya 5,5 tahun hanya karena Dia iseng. He doesn’t play, everything is in His plan ;)
Dan seperti pernah saya singgung di postingan saya sebelumnya, whatever God wants us to do, He takes responsibility for providing for it to be done. Saya bisa ngerasain banget, kali ini, nggak seperti 5,5 tahun yang lalu, semua jalan dimudahkan. Biayanya ya cukup aja pas waktunya bayar. Ada teman saya yang mau bantu ngurusin tetek-bengek pendaftaran kuliah tanpa dibayar sama sekali. Ada mantan dosen saya sewaktu D3 yang mau bantu carikan dokumen untuk kelengkapan pendaftaran padahal itu arsip lawas. Juga ada teman yang kebetulan roommatenya balik ke Indonesia di saat saya mau datang, hingga ada space tempat tinggal yang tersedia untuk saya. Saya yakin banget, semua itu nggak terjadi secara kebetulan, karena Allah turut bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.
Nah, setelah semua persiapan “fisik” selesai, tinggal lah persiapan mental. Sejujurnya, ini yang paling penting, karena ya itu tadi… I have to step out from my comfort zone. Bukan hal yang mudah, memang. Sampai beberapa hari sebelum berangkat pun, pertanyaan yang paling sering menggaung di kepala saya adalah: do I really have to go? God, am I really doing this?
Dan seolah benar-benar ingin menjawab keraguan saya, artikel di warta gereja saya pun mengangkat tema ini. Saya tuliskan ulang ya :)
Petrus adalah seorang nelayan yang sudah berpengalaman. Dia tahu bahwa saat yang paling baik untuk mengangkap ikan adalah malam hari. Sementara Yesus bukanlah nelayan. Dengan logika manusia, mungkinkah “seseorang” yang bukan nelayan memberikan nasihat profesional kepada nelayan kawakan? Tapi lihat jawab Petrus. “Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” (Lukas 5:4)
Yang terjadi kemudian sungguh ajaib. Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.” (ay 6-7)
Ini semua terjadi karena Petrus mau menuruti perintah Tuhan untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam (ay 4).
Hidup kita seringkali berhenti pada tempat yang dangkal, di pinggir-pinggir saja, karena itu merupakan tempat yang nyaman dan relatif tidak beresiko apa-apa. Kita tidak mau mengambil langkah maju karena ragu dan khawatir, takut akan resiko yang mungkin dihadapi, dan berat untuk melepaskan zona nyaman kita. Kita memilih hanya sebagai penonton setia dan bukan sebagai pelaku. Kita hanya mau dilayani, tanpa mau melayani. Dalam hidup dan pekerjaan pun, kita takut salah langkah, meskipun kita seringkali sadar bahwa Tuhan telah menyuruh kita untuk melakukan sesuatu, untuk melangkah maju, untuk masuk lebih dalam lagi. Padahal lihatlah, di tempat yang dalam itu ada rencana besar Tuhan untuk masing-masing kita.
Memang, untuk masuk ke tempat yang lebih dalam lagi ada banyak resiko menghadang. Mungkin ada badai, angin kencang di tengah laut, mungkin ada ombak tinggi menggulung, ada resiko kapal karam, ada resiko untuk terombang-ambing sendirian di tengah lautan luas, namun ingatlah sekali lagi, bahwa Tuhan sudah berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkan kita. “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan menginggalkan engkau.” (Ibrani 13:5b)
Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam menuju rencana-rencana besar Tuhan.
Oya, sehari sebelum keberangkatan, saya menulis status di FB, “24 hours before i step out from my comfort zone..” Surprisingly, my priest commented on it, “We never step out our comfort zone, we expand it.”
Guess what, in GOD, I found it true :)
PS: pic taken from here
Comments
nice and true posting
dan, dalam banget
i like the quote, we expand it
And yes, He will provide
Jadi Steph, jalani semua dengan hati berserah ya. Karena DIa selalu menyertai di setiap jalan kita :)
Keep posting, Steph
well, Ci... jadi inget lagu dan ayat ini; apa yang tak pernah kita lihat, kita dengar, dan yang timbul di dalam hati semua disediakan sama Tuhan. Good luck buat study-nya yah di sana, God always be with you (:
<a href="http://janefromtheblog.blogspot.com>JANE FROM THE BLOG</a>